Before you read this, please do read the previous part of this story. Click here.
Kisah ini saya tulis saat sedang menjalani kemo ke-7, tanggal 29 November 2018. Pada saat itu saya belum berani membagikan kabar kanker saya ke siapapun selain keluarga dan kerabat dekat, sehingga kisah ini hanya saya simpan rapi di notes ponsel saya. Kalau kalian sudah bisa membaca kisah ini, berarti saya sudah siap hati untuk berbagi, you can count how long did it take for me to be ready. Mungkin kalian bertanya-tanya, memangnya apa susahnya sih untuk berbagi cerita?
I will tell you everything I felt as a cancer warrior, and the reason why I chose to stay silent. Kenapa saya lebih memilih diam, dan apa yang bisa dilakukan jika ada orang di sekitar kalian yang menderita kanker tanpa menyinggung perasaannya. Pernah gak sih, merasa bingung bagaimana harus bersikap terhadap orang yang sedang tertimpa musibah? Hopefully this part of the story could help anyone of you with that issue. Menurut saya, ini adalah salah satu hal yang paling penting: cara bersikap pada orang yang sedang tertimpa musibah. Kasarnya, supaya basa-basi nyinyir khas orang Asia bisa dihentikan, hehehe. Saya akan bicarakan mengenai masalah ini di artikel selanjutnya.
“Lagi kemo, kok kepikiran untuk ketik cerita?”
First of all, karena kemoterapi saya durasinya sangat lama, sekitar lima jam. Saya harus diinfus tiga jenis obat dan perpindahan dari satu obat ke obat lainnya harus menunggu selama satu jam. Jadi, daripada mati gaya, saya isi waktu untuk menulis saja. Second of all, karena ada tante-tante di sebelah saya yang menangis tersedu-sedu, kencang sekali. Hmm, been there done that, pasti si tante baru saja divonis dan dipaksa untuk berkenalan sama si kanker. Pengen deh, rasanya, bilang ke si tante untuk menangis sekencang-kecangnya, sepuasnya. Lagipula, apalagi yang bisa kita lakukan?
Nothing we really can do at this point, selain menangis dan berusaha sekeras mungkin untuk menerima kenyataan. Susah, pasti. Tapi pasti sampai ke titik itu kok—menerima kenyataan.
Menangislah sejadi-jadinya, sekencang-kencangnya. Jangan ditahan-tahan, menangislah sampai air matamu habis, sampai sudah tidak bisa menangis lagi… kalau sudah sampai ke titik itu, pasti malah bingung sendiri, buat apa sih nangis? Toh sekarang pun masih hidup, kan?
Itulah titik baliknya, mulai bangkit, mulai menerima kenyataan, mulai berjuang melawan si jahat, kanker. Ibaratnya, we all have that big barrel of tears inside us, weighing heavy on our hearts. Kalau air matanya ditampung terus, tidak dikeluarkan, ya pasti tongnya penuh terus dan berat membebani hati kita. Ketika kita sudah membiarkan air mata itu keluar, emptying out our tear barrell, pastinya segalanya akan terasa lebih ringan. It’s time for you to lift up all of your burdens. Jangan pernah salahkan Tuhan atas keadaanmu sekarang, it’s one thing I never do. Instead, I pray for me to be blessed with strength. Kekuatan untuk menghadapi dan berjuang melawan kondisi ini.
Kita punya Tuhan bukan untuk disalahkan, tetapi untuk meminta kekuatan. Perasaanmu yang merasa hidup tidak adil padamu itu sumbernya dari setan, jadi kenapa tidak salahkan saja si setan itu? All the bad things in your mind is just your demons speaking to you. You won’t gain strength from them. Bangkit, mohonkan kekuatan untuk berjuang, dan jangan pernah salah sasaran menyalahkan.
Pertanyaan berikutnya, jadi berapa lama saya menangis-nangis, terpuruk sampai akhirnya bangkit?
Surprisingly enough, hanya butuh 2-3 minggu. Itulah saat rambut mulai rontok parah dan saya tidak tahan melihat rontoknya, hingga akhirnya saya putuskan untuk go bald alias botakin rambut. For me personally, bukan vonis kanker yang membuat saya paling terpuruk. Kaget sih, pasti. Tetapi, yang paling membuat saya terpuruk adalah kenyataan bahwa saya harus jadi botak. Ternyata, bukan penyakit kankernya sendiri yang berat, tetapi botaknya. Hahaha, membingungkan, ya?
Suami dan keluarga saya pun bingung. They cried for me when I was diagnosed with cancer, tetapi saya malah menangis karena takut menjadi botak. Sejak hari pertama saya divonis kanker, itulah pertanyaan pertama saya: “jadi nanti saya harus botak, dok?!”
Dokternya hanya mengangguk, dan di situlah saya menangis… Serius deh, sungguh itu adalah hal terberat yang harus saya lalui. Setelah berhasil melewati fase-fase itu, baru saya bisa bangkit. Mungkin kalian jadi bertanya-tanya lagi, kenapa sih berat banget untuk jadi botak?
Well, bagi wanita kebanyakan, atau saya pribadi, rambut adalah mahkota yang penting sekali untuk kepercayaan diri. Kalau saya botak, bagaimana saya bisa keluar rumah? Bagaimana saya bisa menghadapi orang lain? Bahkan, memikirkan untuk menghadapi anak-anak saya sendiri dalam kondisi botak saja saya tidak berani. Sehingga di awal saya botak, saya takut melihat cermin dan pantulan diri sendiri. Dilihat suami pun tidak mau, saya usir dia. Melihat diri sendiri di cermin otomatis langsung menangis, padahal kamar saya banyak cerminnya, seolah-olah mengejek saya.

Suami saya bilang, dia akan tutup semua cermin yang ada di kamar, namun saya larang. Cukuplah sudah saya saja yang jadi jelek, kamar saya jangan. Suami saya juga berencana untuk cukur habis rambutnya untuk menemani saya jadi botak, tetapi saya larang juga. Saya tidak ingin ngajak-ngajak orang lain untuk jadi jelek, biar saya saja yang merasakan. Saya merasa jahat kalau mengizinkan orang lain di sekitar saya untuk ikut botak demi saya. No, I will never let that happen.
Akhirnya, setelah habis air mata ini menangisi kebotakan, semuanya jadi lebih mudah. Lihat cermin sudah biasa, tidak lagi ada rasa takut. Mulai deh, cari-cari rambut palsu. See? I can do it, bangkit juga saya.
End of part 3. To be continued…