My Chemotherapy Journey

This is an ongoing series on breast cancer by cancerwarriordiary. Read the previous articles here.


Pada part kali ini saya akan menceritakan tentang obat kemoterapi apa saja yang saya pakai and all the details that follow. Dokter menjadwalkan saya untuk melakukan delapan kali kemoterapi in total, dengan masing-masing kemoterapi berjarak tiga minggu. Kemoterapi ini bertujuan untuk mengecilkan ukuran tumor dan membunuh sel kanker yang sudah terlanjur menyebar. Setelah proses ini dilewati, barulah saya bisa lanjut ke tindakan operasi dan kemudian radiasi.  

Pada kemoterapi siklus ke-1 hingga ke-4, dokter memberi dua macam obat, yaitu doxorubicin dan cyclophosphamide. Kedua obat tersebut akan dimasukkan ke dalam tubuh saya melalui infus, which means nadi di tangan saya harus ditembus alat infus. Namun karena nadi di tangan saya sangat kecil, akhirnya jarum sulit dimasukkan, sehingga dokter menyarankan saya untuk menanam chemo port di dada atas sebelah kanan karena benjolan saya berletak di payudara kiri.

But, what is chemo port?

Chemo port adalah semacam chip berbentuk bulat yang berfungsi untuk memudahkan proses insersi obat kemoterapi ke dalam tubuh saya. CP ini ditanam di dalam tubuh, pada umumnya di dada kiri, dan ada selang kecil yang dihubungkan dengan pembuluh darah vena yang langsung menuju ke jantung. Dengan memasang CP di dekat area jantung, obat-obatan akan lebih cepat dan mudah masuk ke jantung karena jarak tempuh yang lebih pendek. Selain itu, obat kemoterapi yang kuat juga memiliki risiko untuk membakar jaringan kulit di atas pembuluh darah dan berpotensi untuk menyebabkan gangguan syaraf di sekitarnya.

Akhirnya setelah berbagai pertimbangan, saya putuskan untuk tanam CP. Meski terdengar ngeri, CP ini sangat membantu bagi saya. Sekali prosedur selesai, jadi susternya tidak perlu lagi seharian mencari nadi saya yang kecil dari pergelangan hingga lengan atas, dan saya pun tidak perlu tersiksa berkali-kali ditusuk jarum.

Cara pemasangannya melalui operasi kecil, biasanya hanya bius lokal saja, tetapi saya putuskan untuk bius total. Pemasangan CP membutuhkan ketenangan yang sangat tinggi dari pasien. Daripada ambil risiko, khawatir saya malah tidak tenang dan jadi menyusahkan dokter, akhirnya saya dibius total. Penyambungan selang CP menuju pembuluh darah vena ke jantung itu menggunakan X-ray, butuh ketelitian maksimal, jadi saya pikir akan lebih baik kalau saya tidak bergerak sehingga dokter bisa bekerja lebih maksimal.

Chemo Port dan luka operasi di dada kanan saya

CP yang sudah ditanam tersebut nantinya akan berbentuk seperti gambar di atas, benjolan kecil dan luka operasi kecil di dekatnya. Untungnya, keberadaan CP di dalam tubuh saya ini tidak mengganggu sama sekali, bahkan bisa dibilang tidak berasa apa-apa. Hanya saja, saya tidak bisa pakai baju terbuka lagi, karena kalau pakai tank top pasti kelihatan.

Maybe some of you are wondering, di foto tersebut kok saya ada rambutnya? Bukankah lagi kemoterapi biasanya botak?

Well, aslinya saya memang botak kok, hehe. Tetapi saya selalu pakai wig. Mungkin kalian bisa cek di instagram saya @fennyfeifei, sekitar bulan Juli 2018 saya mulai berubah gaya rambut. Di situlah awal mula saya jadi botak plontos dan mulai memakai wig.

Alright, let’s continue talking about the chemotherapy. Pada kemoterapi siklus ke-5 hingga ke-8, dokter mengganti obatnya dengan docetaxel, herceptine dan perjecta. Di siklus ini, leukosit atau darah putih saya dinyatakan habis, sehingga 24 jam setelah kemoterapi saya diharuskan untuk suntik leucocyte booster. Pada saat itu saya memakai merk neulastim, tetapi banyak juga merk lainnya dengan efek yang sama. Booster-nya disuntikkan ke lemak di bagian perut, dan pada saat disuntik tidak ada rasa sakit sama sekali. Namun, 24 jam setelah suntik muncul rasa sakit luar biasa, berpusat di tulang belakang.

Dokter mengatakan bahwa obat tersebut memforsir tulang belakang kita untuk bekerja lebih keras menghasilkan sel darah putih. Sakitnya berlangsung selama 5-7 hari, paling sakit di hari ke-3 hingga ke-5. Lewat hari ke-5, rasanya cuma linu-linu ringan. Selain obat sel darah putih, obat kemoterapi docetaxel juga menyebabkan rasa pegal linu, jadi rasanya dua kali lipat. Bahkan badan hanya berdiam diri pun muncul rasa tidak nyaman, cekat-cekot dari ujug kepala hingga ujung kaki.

Jangan khawatir, dokter akan memberikan obat pereda rasa sakit untuk membantu kita melawan rasa sakitnya. Panadol juga bisa membantu, tapi dokter meresepkan tramadol yang lebih kuat untuk jaga-jaga jika panadol tidak mempan.

Sisi positifnya, di kemoterapi ke-5 hingga 8 ini saya tidak merasa mual sama sekali. Efek yang dirasakan hanya pegal linu saja. Alhasil, nafsu makan pun jadi meningkat, tidak seperti saat kemoterapi ke-1 hingga 4.

Pada artikel berikutnya, saya akan membahas soal efek samping dari kemoterapi. Thank you for reading my journey, stay healthy everyone!

2 thoughts on “My Chemotherapy Journey

Leave a comment